Simpang Tiga Titian (Cerpen)


 

Edisi 2013-07-09

Ini  hari ketiga kepulanganku, setelah hampir dua tahun di Surabaya. Banyak sekali hal yang berubah. Punggur sudah banyak kemajuan disana sini, meski kebobrokan moral tak kalah pesatnya berkembang. Tapi, bukankah ini hidup yang sebenarnya.? Antara baik dan buruk teramat sulit untuk dibedakan apalagi dihilangkan. Oh ya, Zen, kemarin aku sempat singgah ke rumah tua Tok nuri, medan cinta kita. Kotor,usang, penuh dengan sarang laba-laba, serta banyak sampah yang berserakan dimana-mana. Dan aku mulai berfikir mungkin seperti itulah cinta kita. Kotor oleh prasangka dan terbiar dalam keresahan. Tapi ada juga hal lain yang membuat hatiku sedikit legah.

TPQ itu. Tampak berdiri megah dan penuh dengan semarak lantunan alif,ba’, dan ta’ dari bibir anak-anak kecil itu. Padahal dulu, betapa sempitnya ruangan tempat mereka belajar. Hanya semangat mereka yang mampu membuat ustadz dan ustadzah tak kenal putus asa untuk menyalurkan pengetahuannya kepada mereka. Mereka polos,lucu, dan menggemaskan. Melihat mereka rasanya aku ingin kembali kecil lagi.

                            ***

Hampir lupa, Zen, aku juga sempat mampir kerumah Nadia teman semasa Madrasah kita dulu. Dia banyak cerita tentang dirimu, juga mengenai Nisa tunanganmu. Kau tahu zen, rasa tak kuasa untuk sekedar mengangkat wajah ketika Nadia menceritakan begitu detail tentang Nisar tunanganmu. Oh ,, ternyata dia penyebab mengapa kau tak pernah membalas risalahku ? jadi ini biang keretakan  hubungan kita?

Jujur Zen, andai ku tahu dari dulu, mungkin tak sesakit ini hatiku,tak seperih ini lukaku. Minimal kepulanganku kali ini, tak mengharap adanya sambutan hangat dan ucapan rindu dari bibirmu. Kau kejam Zen.! Aku salah menilaimu. Aku terlalu percaya kau tak berubah. Dan aku terlalu yakin hanya akulah stu-satunya wanita yang bertempat tinggal dihatimu. Aku lupa Zen, Waktu begitu cepat merubah seseorang untuk menjadi siapapun. Termasuk Zen ku yang matang sekalipun.Padahal dulu, kaulah yang sangat menghawatirkan ku, disaat aku memulai babak baru dipulau jawa. Tapi kini,telah terbukti kau sendiri yang menghadirkan duri. Kau munafik Zen .!kau penipu .! maaf kan aku Zen, tak seharusnya aku emosi begini. Andai kau tahu separah apa lukaku,maka separah itulah aku ingin mencaci maki dirimu.

 

                        ****

Hujan turun lagi,menghantam bumi khatulistiwa, tamparan angin masih menyisakan rasa pedih diwajahku. Sambil berlari kecil ku sebrangi ketiti sembari menahan butiran – butiran air bening yang membasahi pipiku.

Kalau saja bukan karna Mbak Nadia yang memaksaku untuk melihat Nisa, rasanya mustahil saat ini aku berada dimuka pintu rumah tunanganmu itu.

            “ Silahkan masuk Mbak!” katanya lembut. Dan hampir saja kemarahanku meledak kalau saja mataku tak melihat Wanita itu sedang duduk dikursi roda.

            “Benar ini rumahnya Nisa.? Tanyaku gamam.

            “Benar sekali. Saya sendiri Nisa. Mbak siapa .?”

            “Saya Laili” Jawabku pelan. Ku lihat bibir kering itu bergetar dan kedua matanya berkaca-kaca

 

            “Zen pernah cerita tentang Mbak, dan  juga tentang harapan-harapannya kepada Mbak. Maafkan saya, yang telah menghancurkan impian Mbak. Sebenarnya ….”

            “Cukup!”

            “Tidak. Mbak perlu mengetahuinya. Sepulang dari kampus, Zen menabrak motor yang saya kendarai. Malang tak dapat ditolak, saya koma beberapa hari,bukan Cuma itu, saya juga harus kehilangan sepasang kaki yang sangat berharga ini. Saya mohon, Mbak jangan marah pada zen, dia tidak bersalah, dia….. Kalimat itu terputus oleh tetesan air mata Nisa, kurasakan mataku mulai basah. Amarah yang terpendam terbentur oleh kenyataan yang menyakitkan. Dengan penuh penyesalan, kutinggalkan rumah mewah itu. “Ya robbi mengapa cobaan seberat ini .?

            “Kenapa Umytidak memberitahu dari dulu?”tanyaku serak setelah kepulanganku dari rumah Nisa.

            “Umy Ingin Laili melihat sendiri”.

            “Umy biarkan Laili Hidup tak menentu”.

            “Li … umy begitu, karena umy tau Laili bisa. kamu sudah besar nak.

            “Eli Iba melihat nisa umy.”tak ada sahutan. Saat ku menoleh tampak sosok terkasih itu berjalan ke ruang dapur.

Kalimat lembut umy mengiang ditelingaku. Umy benar, aku sudah besar, tak semestinya aku bersikap seperti ini. Tapi adakah umy tahu seperti apa rasa kehilangan ini?. Adakah umy tahu luka hati ini?.

            “Ya robbi … jika memang ku tahu sakitnya seperti ini, jera aku mengenalnya.

            “Li, bagi Laili yang sehat, Zen berharga. Tapi bagi Nisa yang lumpuh ?
 Zen lebih dari segalanya.”kata umy pada suatu sore yang sendu.

            “umy menyuruh laili mengalah?”

            “Tadak, umy hanya inin Eli merenung.”

            “Eli udah merenung diri”.

            “Apa keputusan Eli?”

            “Yang pasti awal bulan syawal Eli harus pulang ke surabaya”

                           ***

Wanita itu menatapku dengan mata merah. Anehnya, kali ini dia merasa lebih kuat dari beberapa hari yang lalu.

            “Andai peristiwa ini tidak terjadi,pasti Mbak takkan seperti ini. Dan yang lebih pasti, Mbak dan Zen pasti sudah bahagia”. Kata Nisa menunduk.

            “kamu  jangan berkata seperti itu, saya juga berfikir andai kecelakaan itu tidak terjadi, pastilah Kamu sudah berkelana meraih cita-citamu. Kerugian saya hanya masalah hati. Sementara kerugian kamu?kamu tegar. Saya salut. Andai saya berada diposisimu, saya tidak berani jamin saya dapat setegar kamu. Kapan Eli kembali ke Surabaya?”

            “Mungkin bulan Pertengahan Syawwal”.

            “Titip salam buat Zen,katakan saya bangga pernah mengenalnya.

            “Insyaallah , dan saya juga akan mengatakan pada Zen, bahwa Mbak adalah orang pertama yang mengajari saya tentang lapang dada dalam menerima kenyataan. Oh ya , memangnya Mbak mau kemana?”

            “Rencananya saya akan kembali ke surabaya, untuk menyelesaikan studi saya, dan sedikit menenangkan diri. Seperti Kamu yang perlu beradaptasi dengan keadaanmu, saya juga membutuhkan itu”.

            “Maksud Mbak?”

            “Saya ingin bila nanti saya kembali kepunggur, luka ini sudah sembuh. Dan, saya dapat bersilaturrahmi dengan kamu tanpa ada rasa dendam.”

            “ss…sayaa merasa malu….”

            “Tidak Nis, saya lah yang harus lebih malu. Karna saya masih kikir untuk memberi kebahagiaan yang saya punya terhadap orang lain. Baiklah, saya pamit pulang, jaga kesehatanmu”

.Lalu aku melangkah keluar,Ada rasa legah yang menyusup di relung hatiku. Kelegahan karna aku dapat membunuh nafsu yang bersemayam di jiwaku. Ya robbi… jika bukan karna rahmatmu, mustahil aku kuat menapak hari.

                                    ***

Klakson sebuah kapal berdencit. Seperti yang telah direncanakan  aku kembali ke surabaya. Pelukan hangat umy dan adik bungsu mengiringi keberangkatanku. Emas murni yang saat ini ku miliki, ini lebih dari cukup. Dengan pasti ku menaiki tangga kapal. Kupastikan akan ada banyak hikmah dibalik peristiwa ini. Dan, yang lebih pasti, Allah akan beri pengganti.

 Sekian...

Posting Komentar

My Instagram

Copyright © Daeng Abdul Blog. Designed by OddThemes